Belajar dan menghafal al-Quran selama ini identik dengan aktifitas para santri yang sedang bergelut dengan pelajaran ilmu-ilmu keislaman di pondok pesantren, sementara para pelajar dan mahasiswa lebih sering dikaitkan dengan aktifitas belajar ilmu-ilmu umum dan teknologi modern. Mungkin terbilang langka mahasiswa hafal al-Quran ataupun dosen hafal al-Quran.
Padahal kalau mau berkaca pada sejarah ilmuan-ilmuan muslim yang fenomenal dalam bidang filsafat dan sains pada abad pertengahan Islam, kita pasti akan mendapatkan segudang contoh orang-orang yang mumpuni di bidangnya, dan mereka rata-rata hafal dan menguasai al-Quran. Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ar-Razi dll, mereka adalah sosok ilmuan yang komplit, rumus-rumus fisika, kimia, astronomi dikuasai, tafsir, hadis, fiqh juga dipahami secara mendalam.
Apa rahasianya? Ternyata memang saat itu ada tradisi yang kuat bahwa hafal dan faham al-Quran itu merupakan “harga mati” (tidak boleh ditawar) sebelum mereka beranjak untuk mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Hal ini tercermin dalam tulisan Imam An-Nawawi dalam kitabnya “Al-Majmu”:
وَيَنْبَغِىْ أَنْ يَبْدَأ مِنْ دُرُوْسِهِ عَلَى المَشَايِخِ: وَفِي الحِفْظِ وَالتِّكْرَارِ وَالمُطَالَعَةِ بِالْأَهَمِّ فَالْأهَمُّ: وَأوَّلُ مَا يَبْتَدِئُ بِهِ حِفْظُ الْقُرْآنِ الْعَزِيْزِ فَهُوَ أَهَمُّ العُلُوْمِ وَكَانَ السَّلَفُ لاَ يَعْلَمُوْنَ الْحَدِيْثَ وَالفِقْهَ إلاَّ لِمَنْ حَفِظَ الْقُرْآنَ
“ Hal Pertama ( yang harus diperhatikan oleh seorang penuntut ilmu ) adalah menghafal Al Quran, karena ia adalah ilmu yang terpenting, bahkan para ulama salaf tidak akan mengajarkan hadis dan fiqh kecuali bagi siapa yang telah hafal Al Quran. “Imam Nawawi, Al Majmu’,( Beirut, Dar Al Fikri, 1996 ) Cet. Pertama, Juz : I, hal : 66
Dan menurut pengamatan penulis, sejumlah mahasiswa yang menghafal al-Quran ataupun yang telah hafal, memiliki tingkat kecerdasan dan kreatifitas lebih dibanding lainnya. Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang, Bapak Prof. Dr. Imam Suprayogo, dalam acara wisuda 2008 pernah menyampaikan bahwa dalam beberapa tahun terakhir peraih predikat mahasiswa terbaik selalu diraih oleh mahasiswa yang hafal al-Quran. Hal yang sama juga dibuktikan oleh keluarga Bapak Mutammimul Ula. Kesepuluh putra putrinya yang sedang menghafal al-Quran itu rata-rata menjadi pelajar dan mahasiswa terbaik di sekolah mereka masing-masing.
Oleh karena itu tidak heran bila ada testimoni yang mengejutkan dari Dr. Abdul Daim al-Kaheel dari Kuwait. Beliau menulis dalam Artikel yang berjudul: Asrar al-Ilaj bi istima’ ila al-Quran dalam situs pribadinya: www.kaheel7.com, sebagai berikut:
وَيُمْكِنُنِيْ أنْ أُخْبِرَكَ عَزِيْزِيْ القَارِئُ أنَّ الْاِسْتِمَاعَ إلىَ الْقُرْآنِ بِشَكْلٍ مُسْتَمِرٍّ يُؤَدِّيْ إلىَ زِيَادَةِ قُدْرَةِ الْإِنْسَانِ عَلَى الْإِبْدَاعِ، وَهَذَا مَا حَدَثَ مَعِيَ، فَقَبْلَ حِفْظِ الْقُرْآنِ أَذْكُرُ أنَّنِيْ كُنْتُ لاَ أُجِيْدُ كِتَابَةَ جُمْلَةٍ بِشَكْلٍ صَحِيْحٍ، بَيْنَمَا الآنَ أقُوْمُ بِكِتَابَةِ بَحْثٍ عِلْمِيٍ خِلاَلَ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ فَقَطْ
Bisa saya informasikan pada para pembaca yang terhormat bahwa mendengarkan ayat al-Quran secara kontinyu akan menambah kemampuan berinovasi, sebagaimana yang terjadi pada diri saya. Sebelum hafal al-Quran, saya masih ingat, saya kesulitan menulis satu kalimat dengan baik dan benar, sementara sekarang saya mampu menulis karya ilmiah hanya dalam kurun waktu satu sampai dua hari saja.
Untuk itu, kehadiran artikel ini dirasa penting untuk memotivasi dan mengarahkan mahasiwa yang belum atau sedang menghafalkan al-Quran agar mereka bergairah untuk menghafal dan harapannya, mereka kelak menjadi generasi Islam yang unggul dan mumpuni, sebagai “reinkarnasi” dari Al-Ghazali, Ar-Razi, Ibnu Miskawaih dll. Salah satu tahapan utama dan pertama adalah menjadikan para mahasiswa muslim mau menghafal dan memahami al-Quran.
Berikut ini motivasi dan alasan-alasan ringan, realistis, praktis, tentang mengapa al-Quran itu penting untuk dihafal oleh mahasiswa.
1. Otak, semangat, dan kesempatan Anda sekarang berada di masa keemasan
Kalau Anda seorang mahasiswa, pasti usia Anda masih dalam kisaran 18-24 tahun. Usia tersebut masuk dalam kategori usia subur dan produktif (golden age) dalam mencari ilmu, termasuk menghafal. Terkait ini dengan usia ini, Syekh Alwi al-Haddad –dalam bukunya “Sabilul Iddikar” (matan kitab An-Nashaih ad-Diniyyah) mengatakan:
وَأعْجَزَهُ الْفَخَارُ فَلاَ فَخَارَ |
إذَا بَلَغَ الْفَتَى عِشْرِيْنَ عَاماً |
فَلا سُدْتَ ماَ عِشْتَ مِنْ بَعْدِهِنَّهْ |
إذَا لَمْ تَسُدْ في لَيَالي الشَّبَابْ |
Ketika usia remaja menginjak 20 tahun dan tidak memiliki kebanggaan, maka tidak akan muncul kebanggaan lagi
Ketika engkau tidak mampu menguasai masa remaja, maka engkau tidak bisa menguasainya setelah itu selama hidupnya.
Dengan kata lain, “hari ini” bagi seorang remaja adalah miniatur kesuksesan di masa yang akan datang. Bila “hari ini” dalam diri seorang remaja telah tumbuh benih-benih kompetensi, integritas, kepemimpinan, etos kerja tinggi, kemungkinan besar 10 tahun atau 15 tahun yang akan datang, sudah menjadi orang sukses sesuai dengan yang dia kerjakan sekarang.
2. Bersyukurlah, tidak banyak orang yang bisa baca al-Quran
Mensyukuri anugerah Allah adalah sebuah keniscayaan manusia sebagai hamba Allah. Allah memberikan anugerah kepada hambanya sesuai takaran takdir yang dibarengi dengan ikhtiar maksimal. Oleh karenanya, kadar karunia yang Allah berikan kepada hambanya berbeda-beda satu sama lain. Allah berfirman (QS. An-Nahl:71):
وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ
Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezki,
Rizki itu bisa berupa harta, anak, kesehatan, ilmu dan persaudaraan. Kalau anda hari ini kemampuan membaca ayat-ayat al-Quran dengan baik, syukuri itu sebagai bagian dari rizki Allah. Tidak banyak orang yang bisa membaca al-Quran, hanya orang pilihanlah yang diberi kemampuan itu.
Nabi bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik, maka dia memeiliki pemahaman dalam agama
Pengalaman saya (penulis) mengajar matakuliah PAI (pendidikan Agama Islam) di beberapa kampus di kota Malang, rata-rata 80% dari mereka belum bisa baca al-Quran padahal usia mereka berkisar 18-20 tahun. Belum lagi kemampuan baca al-Quran masyarakat umum non mahasiswa, tentu lebih banyak lagi. Jika kita tergolong orang yang bisa baca al-Quran, maka bersyukurlah dengan cara yang lebih produktif. Adakalanya dengan memperbanyak bacaan al-Quran, meningkatkan pemahaman kandungannya atau meneruskannya ke jenjang tahfidz (menghafalkan).
Mungkin tidak akan bermanfaat apa-apa, apabila kemampuan baca al-Quran yang dimiliki itu tidak diamalkan secara istiqamah. Sebagaimana pisau, ia tidak akan berarti apa-apa bila tidak digunakan untuk keperluan memotong. Allah memberikan ilmu hakikatnya bukanlah sebagai tujuan (goal) tapi semata alat (medium) untuk sampai pada tujuan. Sedang tujuan akhirnya adalah pengamalan serta pengajaran al-Quran itu sendiri.
3. Betapa banyak orang yang merindukan untuk menjadi penghafal al-Quran
Saya banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh Islam, akademisi yang ada di kota Malang. Mereka sekarang sudah jadi orang hebat, dihormati, memiliki penghasilan tinggi. Di antara mereka ada yang bercerita pada saya: ”mas, saya sampai sekarang ini masih mendambakan untuk bisa hafal Al-Quran, tapi pada usia setua ini apa masih bisa? Bahkan, salah seorang dosen saya di S3 UIN Maliki Malang, dengan usia di atas 50 tahun, mengatakan: “saya sekarang menghafalkan al-Quran, berapapun dapatnya tidak masalah, sebab Allah menghargai proses bukan hasil. Cita-cita saya sebelum meninnggal, kalau bisa semua ayat al-Quran sudah pernah dihafal agar memori otak yang Allah ciptakan ini pernah terisi dengan file-file al-Quran.” Bukankah otak atau hati yang berisi al-Quran tidak akan disiksa oleh Allah? Sebagaimana sabda Rasulullah:
عن أبي أمامة : إنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ اِقْرَؤُوْا الْقُرْآنَ وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ هَذِهِ الْمَصَاحِفَ الْمُعَلَّقَةَ فَإِنَّ اللهَ لَنْ يُعَذِّبَ قَلْبًا وَعَى الْقُرْآنَ (رواه الدارمي)
Bacalah al-Quran, jangan sekali engkau tertipu dengan mushaf yang tergantung ini, karena Allah tidak akan menyiksa hati yang berisi al-Quran (HR. Ad-Darimi)
Demikian juga salah seorang pembantu rektor di Universitas Negeri Malang, secara implisit bertanya hal yang hampir sama pada saya, yaitu tentang tata cara menghafal dan menjaga al-Quran di usia dewasa. Dua tahun yang lalu, saya mengikuti acara khataman di rumah Ustdaz Asrukin (Dosen Ilmu Perpustakaan UM), di sana bertemu orang “sepuh” dari Kepanjen Malang yang sedang menghafal al-Quran sejak usia 55 tahun, waktu itu baru bisa menghafal 25 juz. Di Pesantren Darul Quran Singosari Malang, juga pernah kedatangan santriwati berusia 50-an tahun dari daerah Tanggul kota Jember. Teman saya, seorang ibu dua anak masih menyempatkan diri setoran hafalan al-Quran seminggu sekali di Pesantren Nurul Ulum Kebonagung Malang. Mungkin mereka yang merindukan menjadi penghafal al-Quran tersebut sudah pernah mencoba tapi gagal, atau mungkin karena kesibukannya tidak sempat menghafal. Jadi, kalau hari ini Anda menghafal, berarti Anda telah melakukan sesuatu yang banyak dirindukan orang lain. Kalau mereka baru bermimpi, Anda sudah melakukannya, berbahagialah!
4. Tidak banyak orang yang punya niat dan mulai menghafal
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa kemampuan baca al-Quran yang sudah ada selama ini seharusnya ditingkatkan, sebagai ungkapan rasa syukur pada Allah. Demikian juga, bila kita hari ini sudah punya niat untuk menghafal dan sudah mulai menghafal, maka bersyukurlah, sebab tidak banyak orang yang mendeklarasikan diri untuk berkomitmen menghafal (nawaitu) dan mulai melakukannya.
Rasa syukur itu semestinya dimanifestasikan secara konkrit dalam bentuk upaya maksimal meneruskan hafalan itu hingga paripurna (tuntas). Ibarat biji tanaman, setelah ditancapkan ke dalam tanah, ia harus kontinyu disiram dan dipupuk sampai tumbuh dan berkembang subur lalu berbuah.
5. Tidakkah kita malu dengan anak balita yang hafal al-Quran
Belum lama ini di situs Youtube terpampang seorang anak balita brilian yang membaca al-Quran bil ghaib. Dialah Abdurrahman Farih dari Al-Jazair (yang saat direkam baru berusia tiga tahun). Siapakah orang tua yang tidak bangga memiliki anak sesholih dan secerdas dia. Di Indonesia, orang tua yang anaknya terjaring dalam DACIL (Audisi Dai Cilik) saja bangganya bukan kepalang. Hal yang perlu menjadi catatan kita, dalam usia semuda itu si Farih telah memulai dan melaksanakan hafalan hingga tuntas.
Bagaimana dengan Anda? Sudah berapa usia Anda? Bila hari ini usia Anda sudah di atas 18 tahun dan belum nawaitu untuk menghafal atau belum tuntas dalam menghafal, patutlah Farih menjadi ”cambuk”, agar anda merasa malu dan tergerak untuk memulai. Kapan lagi memulai, jangan pernah menunda sebuah niat suci. Motivasi tidak ada jaminan datang dua kali. Bisa jadi, niat yang pelaksanaannya tertunda akan menguap dan sirna selamanya.
Jangan putus asa bila di usia sekarang Anda belum sukses, masih ada beberapa tahun menuju usia 23 tahun dimana sepanjang itu al-Quran lengkap diturunkan. Atau mungkin usia Anda sudah di atas 30 tahun, jangan putus asa untuk menghafal sebab Rasulullah mulai menerima wahyu dan menghafal baru di usia 40 tahun. Kalau usia anda di usia 55 tahun belum selesai menghafal, jangan putus ada karena Rasulullah tuntas menerima wahyu di usia 61 tahun.
6. Tidak inginkah kita membahagiakan orang yang selama ini rela menderita untuk kita
Setiap kali terlahir anak manusia, pasti di sana ada orang yang ikut bersuka cita menyambut kehadiran sang bayi. Siang malam tercurah kasih sayangnya. Dialah ayah dan ibu kita. Sang anak tumbuh menjadi besar lalu menjadi remaja, tak pernah lepas dari belaian kasih sayang orang tua terutama ibu. Mereka rela menderita demi kebahagiaan sang anak. Keringat dan air mata menghiasi keikhlasan mereka dalam mendidik dan membesarkan putra putrinya.
Mahasiswa yang sedang studi jauh dari orang tua, terkadang tidak banyak tahu tentang penderitaan orang tua di rumah, bagaimana mereka membanting tulang, berhutang rupiah kesana kemari demi kelangsungan studi putra putrinya yang berada di perantauan, nun jauh di sana. Si anak sering tidak diberitahu tentang suka duka orangtua yang di rumah, agar tidak tak terganggu konsentrasi mereka. Namun, si anak mesti merasakan dan peka akan suka duka orang tua tersebut. Harapannya, dari sana akan muncul empati serta simpati dari anak, untuk kemudian berupaya untuk memberikan balas budi kepada orang tua kelak di kemudian hari.
Dengan menghafal al-Quran, kita ingin memanjakan orang tua supaya mereka bisa bangga dan terhibur. Rata-rata orang tua sudah merasa senang manakala anaknya berprestasi dan berperilaku baik, tawaddu’, dibanding semata-mata ”pamer kekayaan”. Paling tidak, dalam bayangan orang tua, ketika mendengar anaknya hafal al-Quran, kelak pahala baca al-Quran dari anak tak kan pernah putus dan akan senantiasa menerangi kubur mereka dengan cahaya al-Quran.
Rasulullah bersabda:
عَنْ سَهْلِ بْنِ مُعَاذٍ الْجُهَنِىِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَعَمِلَ بِمَا فِيهِ أُلْبِسَ وَالِدَاهُ تَاجًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ضَوْؤُهُ أَحْسَنُ مِنْ ضَوْءِ الشَّمْسِ فِى بُيُوتِ الدُّنْيَا (رواه أبو داود)
Barang siapa yang membaca al-Quran dan mengamalkan isinya maka pada hari kiamat kedua orang tuanya akan diberi mahkota yang cahayanya lebih indah daripada sinar matahari di dunia.
7. Begitu indahnya, jika kubur orang tua kita selalu bersinar lantaran al-Quran yang selalu kita baca
Sebagai orang beriman, kita meyakini akan adanya siksa kubur dan akherat. Juga kita meyakini bahwa al-Quran yang kita baca pasti akan sampai pada orang yang telah meninggal. Cepat atau lambat orang tua kita pasti berpulang ke hadirat ilahi rabbi. Alangkah indahnya, jika kubur orang tua kita yang sempit dan gelap, bertaburkan cahaya al-Quran. Orang yang hafal al-Quran secara umum memiliki intensitas bacaan yang lebih tinggi dibanding dengan yang tidak, sehingga peluang untuk mendoakan dan mengirimkan pahala pada orang tua, lebih terbuka.
Abu Ja’far meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra. Bahwa orang mukmin itu apabila diletakkan di dalam kuburnya maka kuburnya itu dilapangkan 70 hasta, ditaburi harum-haruman dan ditutup dengan kain sutera. Apabila ia hafal sebagian dari Al-Qur’an maka apa yang dihafalnya itu menerangi seluruh kuburnya, dan apabila ia tidak hafal, maka ia dibuatkan cahaya seperti matahari di dalam kuburnya. Ia bagaikan pengantin baru yang tidur dan tidak dibangunkan kecuali oleh isteri yang sangat dicintainya. Kemudian ia bangun dari tidurnya seakan-akan ia belum puas dari tidurnya itu.
8. Betapa inginnya kita mendapatkan pendamping yang lidahnya selalu basah dengan al-Quran
Sayyidina Ali Karromallahu Wajhah berkata:
عَامِلِ النَّاسَ بِمَا تُحِبُّ أَنْ يُعَامِلُوْكَ بِهِ
Perlakukan orang lain dengan sesuatu yang kau ingin diperlakukan seperti itu.
Bila kau ingin dapat hadiah, seringlah memberi hadiah pada orang lain. Sebaliknya bila kau ingin disakiti oleh orang lain, sakiti dia. Ungkapan tersebut senada dengan hadis nabi:
وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ (رواه مسلم)
Lakukan pada orang lain sesuatu yang dia suka diperlakukan seperti itu.
Kecenderungan banyak orang, mereka ingin memperoleh pasangan hidup yang sempurna (cantik/tampan, pandai, setia, kaya dsb). Sementara, tidak banyak yang memperindah dirinya dengan sifat-sifat sempurna semacam itu. Termasuk hal yang diidamkan oleh mayoritas muslim/muslimah adalah memiliki istri atau suami yang mahir atau hafal al-Quran. Begitu indah rasanya, apabila dalam keluarga yang dimotori oleh suami atau istri, ada gema lantunan ayat suci al-Quran yang tak pernah putus. Dengan demikian, suasana rumah akan terasa sejuk penuh aura kedamaian dan bertebarkan cahaya qurani.
Rumah sebagai sebuah lembaga informal untuk mendidik putra putri yang salih shalihah dan akan sukses, manakala anak-anak meneladani hal-hal baik yang dilakukan orangtuanya. Dari sini, banyak contoh yang bisa dipaparkan. Keluarga alm. KH. Amir Singosari Malang, enam anaknya hafal al-Quran, kel. Drs. Mutammimul Ula di Bekasi, 10 anaknya hafal al-Quran dll.
Hanya saja, sebaiknya ketergantungan kita dengan orang lain dihilangkan. Daripada mengharap pasangan kita yang ideal, lebih baik mengidealkan diri kita sendiri. Daripada bermimpi mendapatkan jodoh penghafal al-Quran yang susah terrealisasi, lebih baik kita sendiri menjadi penghafal al-Quran, why not? Alih-alih mengharap dan mencari, kita malah diharap dan dicari orang lain, insyaallah.
9. Begitu indahnya, jika kita membesarkan anak-anak kita dengan gema dan aura al-Quran
Mereka yang hari ini sukses, jadi orang besar, jadi orang baik, pasti mereka dididik dengan pola asuh yang benar. Mereka pernah kecil, mengalami masa kanak-kanak yang indah dan menyenangkan. Kita semua juga ingin anak-anak kita hidup demikian.
Tentu, dimulai dari orang tuanya. Sapu yang bersih akan dengan mudah membersihkan tempat kotor. Sapu yang kotor malah mengotori tempat bersih. Orangtua yang hafal al-Quran berpotensi menciptakan generasi yang hafal al-Quran juga. Di saat anak-anak masih tidur menjelang tiba waktu Subuh, kita bangunkan mereka dengan nada-nada al-Quran. Konon, alam bawah sadar anak (otak pada gelombang teta) akan terus merekam suara-suara luar meski mereka terlelap tidur. Meninabobokkan bayi, sembari memperdengarkan alunan kalam ilahi, sungguh memberikan energi positif yang luar biasa.
Demikian juga, ketika mengantar dan menjemput anak sekolah, tak henti-hentinya orang tua memandu hafalan anak. Lebih-lebih lagi, waktu anak-anak sakit selalu dibacakan doa-doa dan ayat al-Quran untuk memohon kesembuhan mereka. Berkunjung ke makam famili dan orang sholih, kita ajari mereka mendoakan dan membacakan al-Quran serta pada even-even penting lainnya.
10. Suatu ketika, kita pasti menjadi dewasa lalu tua, apa kegiatan kita di saat-saat menyongsong ajal tersebut?
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa masa tua adalah masa dimana orang rentan terhinggap banyak penyakit, semua organ tubuh sudah berkurang fungsi dan powernya. Mata sudah mulai kabur, pendengaran juga tidak setajam dahulu. Mungkin pada usia itu, kita sudah pensiun dari pekerjaan, rumah sudah bagus, harta melimpah, sehingga tidak lagi membutuhkan aktivitas kerja lagi. Dalam kondisi seperti ini, apakah Anda betah berjam-jam duduk di depan televisi saja atau hanya jalan-jalan ringan mengelilingi rumah, meski harta melimpah. Lalu mana aktivitas ibadahnya?
Seusai shalat wajib di masjid tentu berdzikir lalu pulang ke rumah begitu seterusnya. Mau baca al-Quran mata tidak lagi jelas, apalagi menghafal. Relakah masa tua kita hanya seperti itu? Tidakkah kita ingin setiap hembusan nafas yang keluar dari mulut kita adalah untaian kalimat al-Quran. Setiap detakan jantung bernilai sepuluh kebaikan lantaran satu huruf al-Quran yang kita baca. Siang dan malam hari, juz demi juz terdendangkan dengan merdu. Semua itu mustahil terjadi apabila seseorang tidak hafal al-Quran. Meski mata tak mampu melihat lekukan huruf-huruf al-Quran, tetapi hati sangat tajam dan pikiran terus bersinar, mampu menangkap lafadz dan makna al-Quran. Keistiqamahan semacam ini insyaallah menjamin kita untuk menghembuskan nafas terakhir dengan khusnul khatimah, amin.
Rasulullah saw menganjurkan agar “kepulangan kita” kelak kepada Allah dalam kondisi membawa al-Quran, beliau bersabda:
إنَّكُمْ لاَ تُرْجَعُوْنَ إلىَ اللهِ بِشَيْءٍ أَفْضَلُ مِمَّا خَرَجَ مِنْهُ يَعْنِيْ الْقُرْآنَ (رواه الحاكم عن أبي ذر الغفاري)
Sesungguhnya kalian tidak dikembalikan kepada Allah dengan membawa sesuatu yang lebih utama dibanding sesuatu yang keluar dari Allah yaitu al-Quran.
11. Maukah “rapot merah” amal kita “dikatrol” oleh al-Quran?
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِه (رواه مسلم عن أبي أمامة(
Bacalah al-Quran, niscaya dia kan datang pada hari kiamat sebagai penolong pembacanya.
Hadis ini memberikan garansi kepada para pembaca al-Quran atau orang yang mendalami al-Quran. Garansi tersebut cukup melegakkan kita semua, sebagai hamba Allah yang penuh salah dan dosa. Di hari ketika harta dan tahta tidak lagi mampu menyelamatkan kita dari kobaran api neraka.
Anak dan saudara juga tak kuasa menolong dari dalamnya jurang jahannam, saat itulah al-Quran datang sebagai syafi’ (penyelamat). Hari itu tak ada yang kita butuhkan melainkan rahmat Allah dan amal baik yang tulus kita lakukan. Allah memberikan 10 tiket surga kepada penghafal al-Quran yang juga pengamal isinya, untuk dibagikan pada keluarganya, sebagaimana sabda Rasulullah:
علي بن أبي طالب قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم مـَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَاسْتَظْهَرَهُ فَأَحَلَّ حَلَالَهُ وَحَرَّمَ حَرَامَهُ أدْخَلَهُ اللهُ بِهِ الْجَنَّةَ وَشَفَّعَهُ فِيْ عَشْرَةٍ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ كُلِّهِمْ وَجَبَتْ لَهُ النَّارُ (رواه الترمذي)
Barang siapa membaca dan menghafal al-Quran lalu menghukumi halal dan haram berdasar al-Quran, maka Allah akan memasukkannya ke surga dan memberi hak untuk menolong 10 keluarganya yang telah dipastikan masuk neraka.
12. Betapa inginnya kita selalu berhujjah dengan al-Quran dalam disiplin ilmu apapun
Hampir semua perguruan tinggi Islam di timur tengah mensyaratkan calon mahasiswanya hafal al-Quran minimal tiga juz untuk jurusan non keislaman dan mahasiswa non Arab, dan 15 juz untuk jurusan keislaman bagi mahasiswa dari negara-negara Arab. Persyaratan tersebut didasarkan pada pertimbangan akademis-ilmiyah. Sebagai calon intelektual muslim, mahasiswa muslim diharapkan mampu mengkolaborasikan ilmu umum dengan ilmu agama dan mensinergikan ayat qur’aniyyah dengan ayat kauniyyah.
Faktor inilah yang menambah tingkat urgensi hafalan. Orang yang hafal sangat berpotensi untuk paham arti kandungannya. Mereka yang hafal dan paham, berpotensi memiliki kapasitas dalam melakukan istinbath hukum serta proses istidlal secara cepat dan akurat.
Al-Quran menopang disiplin ilmu apapun. Ayat-ayat yang terkait ilmu-ilmu sosial, budaya, seni, sangat melimpah dalam al-Quran. Kita mendambakkan sosok seperti al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Sina, mereka jadi orang jenius dan kapabel dalam bidangnya masing-masing setelah menghafal al-Quran. Al-Quran yang telah terpatri dalam diri mereka, mampu menginspirasi untuk memunculkan karya monumental mereka yang abadi hingga kini. Dalam otak dan jiwa mereka seakan terdapat ensiklopedia besar nan lengkap. Ia siap diartikulasikan kapan saja, di mana saja dan dalam bidang apapun. Terlebih lagi untuk hal-hal yang bersinggungan dengan ilmu-ilmu keislaman, seperti fiqh, tafsir, hadis dsb.
Mengamati sejarah keilmuan para fuqaha, mufassirin, muhadditsin yang populer, hampir tidak diketemukan dari mereka, orang yang tidak hafal al-Quran. Bahkan rata-rata mereka hafal al-Quran di usia anak-anak. Misalnya, Imam Syafii hafal al-Quran di usia 7 tahun.
13. Betapa sejuknya hati, bila Al-Quran menghiasi setiap kegiatan dalam keseharian kita
Kesejukan dan kedamaian hati bisa disebabkan oleh banyak hal. Adakalanya kedamaian hati muncul karena ketercukupan materi dan keterpenuhan kebutuhan finansial. Bisa juga kedamaian hati itu datang melalui dzikir dan membaca al-Quran. Sebagaimana firman Allah: Ingatlah dengan mengingat Allah hati menjadi tenang. Artinya, semakin banyak kita membaca al-Quran, semakin lama pula tingkat kedamaian yang menyelimuti kita.
Al-Quran bisa dibaca secara fleksibel kapan saja; pagi, siang, sore, petang, malam, tengah malam, saat senang, saat susah. Demikian juga, ia bisa dibaca dimana saja; di atas sajadah, di atas kasur, di atas kendaraan, sambil jalan, sambil beraktifitas. Fleksibilitas tersebut hanya dapat dilakukan bila yang bersangkutan hafal al-Quran secara lancar.
Kehadiran teknologi canggih saat ini sangat membantu meminimalisir kesalahan. Dengan teknologi audio digital, kita dapat mendengarkan al-Quran secara utuh melalui piranti MP3 portable yang terhubung dengan earphone mini. Teknologi visual juga tidak kalah canggih, al-Quran sekarang sudah bisa diinstall dalam perangkat ponsel, Ipad, Iphone maupun Blackberry. Dengan kata lain, hafalan yang kurang lancar, bukan sebuah kendala, sebab bisa diatasi dengan perangkat canggih tersebut.
14. Yakinlah bahwa Al-Quran akan menolong kita selama kita juga menolong Al-Quran
Al-Quran adalah kalamullah (firman Allah), sekaligus mukjizat nabi Muhammad terbesar. Mengikuti pesan-pesan yang terdapat dalam al-Quran hakikatnya adalah taat pada Allah dan rasulnya. Ikut memelihara al-Quran berarti ikut merealisasikan janji Allah dalam al-Quran: Sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-Quran dan kamilah yang menjaganya.
Dalam ayat tersebut, terdapat kata “inna” yang berarti kami, padahal yang dimaksud adalah Allah. Sebagian mufassir mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah pelibatan manusia dalam rangka penjagaan Allah terhadap al-Quran. Para ulama sepakat bahwa hukum menghafal al-Quran itu fardlu kifayah. Keputusan hukum tersebut diantaranya didasarkan pada ayat di atas.
Hal senada dengan itu, firman Allah: Jika kalian membantu Allah pastilah Allah akan membantu kalian. Dengan kata lain kalau kalian membantu al-Quran maka al-Quran akan membantu kalian. Betapa banyak orang yang hidupnya bahagia sejahtera, lantaran mencurahkan perhatiannya untuk belajar dan mengajarkan al-Quran. Bentuk perjuangan tertinggi dalam membantu al-Quran adalah menghafalkannya. Untuk itu yakinlah, setelah kita bersusah payah menghafalkan al-Quran kelak hidup kita akan ditata langsung oleh Allah.
15. Tidak banyak, orang yang mendapatkan fasilitas hidup seperti kita. Apa wujud terima kasih kita?
Rasa syukur yang mendalam atas sebuah nikmat mampu menginspirasi untuk berbuat lebih baik. Dengan menyadari karunia Allah berupa kemampuan baca al-Quran atau berupa rizki yang cukup, seseorang pasti ingin mengungkap rasa syukurnya kepada pemberi karunia tersebut, yaitu Allah swt. Syukur yang hakiki adalah mengarahkan karunia tersebut sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Lalu bagaimana mensyukuri karunianya yang berupa kemampuan baca al-Quran? Sepakat atau tidak sepakat harus diakui bahwa di sekeliling kita sangat langka orang yang bisa baca al-Quran dengan baik dan benar. Secara tersirat dapat dipahami bahwa Allah memang memilih diantara hambanya orang-orang yang dititipi al-Quran. Orang pilihan pastilah orang yang terpercaya. Orang yang terpercaya pastilah ia orang yang terbaik. Allah berfirman:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ ﴿فاطر:٣٢﴾
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.
Adapun bentuk rasa syukur tersebut adalah memperbanyak membaca atau menghafalkannya atau memahami isi kandungannya atau melakukan ketiganya. Orang yang diberikan kemampuan membaca dengan baik, hakikatnya dia baru diberi media untuk menjadi orang baik. Sama halnya orang yang diberi kail untuk memancing atau pisau untuk memotong. Kail dan pisau tersebut oleh si pemberi bukan untuk hiasan. Si pemberi sebetulnya sedang menanti kapan kail dan pisau tersebut dipakai. Si pemberi akan merasa puas apabila kedua alat tersebut benar-benar telah dipakai untuk kebaikan. Demikian juga kemampuan baca al-Quran, ia hanya sebuah media (wasilah), sementara tujuan diberikannya karunia tersebut adalah dengan membaca sebanyak-banyaknya, menghafalkannya, dan memahami kandungannya.
16. Mulailah dari nol, karena ia pengganda setiap bilangan. Mulailah dari niat, karena ia menjadi penentu setiap sukses.
Banyak orang mendambakan suatu cita-cita dan memimpikan cita-cita tersebut tergapai dengan mudah tanpa pengorbanan. Tak terhitung mereka yang kagum dengan para penghafal al-Quran. Tak terhitung pula mereka berkeinginan untuk menjadi penghafal al-Quran. Hanya saja tidak banyak dari mereka yang menindaklanjuti keinginan tersebut dalam bentuk aksi nyata. Terkait dengan fenomena ini Ibn Athaillah dalam kitabnya Al-Hikam mengatakan:
كَيْفَ تَخْرِقُ لَكَ الْعَوَائِدُ وَأَنْتَ لَـمْ تَخْرِقْ مِنْ نَفْسِكَ الْعَوَائِدَ
Bagaimana mungkin engkau mendapatkan keluarbiasaan (khoriqul adah) kalau engkau tidak mengeluarkan dirimu dari kebiasaan
Setiap kesuksesan pasti diawali dari sebuah perjuangan dan pengorbanan. Setiap perjuangan dalam meraih kesuksesan pastilah akan berhadapan dengan sekian banyak rintangan. Bukankah dalam agama sendiri -menurut al-Quran- terdapat banyak jalan mendaki (aqabah)? Dan Allah menjanjikan surga bagi orang yang melewati aqabah terbut.
Bila Anda sekarang ini memiliki keinginan untuk menghafal al-Quran, syukurilah itu karena ia adalah obor yang membantu kita melewati gelapnya lorong panjang menuju taman surgawi yang abadi. Jangan pernah rasa cinta dan motivasi tersebut redup dan memudar lalu padam. Pelihara obor itu agar lebih terang dan semakin terang. Obor yang padam akan susah menyala kembali. Obor yang padam tidak dapat dipastikan kapan ia menyala kembali dan tidak ada jaminan untuk menyala kembali.
Untuk itu mulailah dari sekarang, jangan pernah menunda kesempatan emas karena ia tidak akan pernah datang untuk kedua kalinya. Mulailah selalu dengan niat dan komitmen tinggi. Niat laksana angka nol yang menggandakan jumlah bilangan. Tanpa angka nol, tidak mungkin ada angka sepuluh, seratus, seribu dan seterusnya. Sebagaimana juga tidak mungkin ada urutan ke sepuluh tanpa dimulai dari urutan pertama. Artinya untuk mengejar cita-cita suci, perlu sebuah niat dan komitmen yang mantap, baru setelah itu memulai tahap I, tahap terendah yang mesti dilalui.
Mustahil, bila ada orang hafal al-Quran 30 juz secara instan, alias bim salabim, dalam hitungan hari. Jangan bermimpi berlebihan bahwa Anda bisa hafal al-Quran melalui jalan ladunni (pemberian langsung dari Allah), sehingga waktu habis untuk mencari wirid kesana kemari dan mengamalkannya berbulan-bulan, sementara kegiatan menghafalnya tidak ada sama sekali. Imam Ar-Raghib Assirjani pernah mengatakan:
مَا لَمْ يَبْذُلْ جُهْدًا فِي حِفْظِهِ فَلاَ يَبْقَى فِي الذَّاكِرَةِ إلاَّ قَلِيْلاً (الراغب السرجاني)
Barang siapa yang tidak mengerahkan sekuat tenaga untuk menghafal, maka tidak akan tersisa di otaknya kecuali hanya sedikit.
Saya bersama rombongan JQH (Jamiyyah Qurro’ wal Huffadz, kini bernama HTQ) Universitas Islam Negeri Malang tahun 2006 berkunjung ke beberapa pesantren di daerah Mojokerto dan Jombang. Dalam kunjungan tersebut, kami sempat menanyakan perihal wirid/doa yang mempercepat hafalan. Tak satupun dari para masyayikh yang kami kunjungi memberikan ijazah doa/wirid. Sebaliknya mereka justru mengatakan bahwa doa yang paling mustajab adalah al-Quran itu sendiri. Mereka lebih menekankan pada para santri yang sedang menghafal untuk fokus hafalan secara istiqomah dan menjauhi wirid-wirid khusus yang panjang. Pepatah Arab mengatakan:
بَيْضَةُ الْيَوْمِ خَيْرٌ مِنْ دَجاَجَةِ الْغَدِ
Lebih baik mengharap telur yang ada di hari ini dari pada mengharap ayam tapi masih besok adanya
17. Akankah kita menyerah sebelum pertandingan benar-benar selesai?
Tiap orang memiliki daya tahan (endurence) dan fokus yang berbeda-beda dalam menghafal, sehingga tidak jarang para santri itu berhenti di tengah perjalanan alias belum tuntas 30 juz, kendati banyak juga yang selesai tuntas. Terkadang ketidaktuntasan tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal, misalnya lingkungan menghafal yang kurang kondusif dan lemahnya dukungan keluarga. Bisa juga masalah muncul dari lemahnya motivasi internal.
Sejak awal, mestinya santri atau mahasiswa mengidentifikasi kemampuan dirinya. Apakah dia memiliki daya tahan dan fokus yang kuat? Apa dia juga memiliki motivasi yang tinggi? Proses identifikasi tersebut dilakukan dengan cara menghafal juz 30 terlebih dahulu. Juz 30 atau yang lebih dikenal dengan juz ‘amma memiliki karakteristik ayat dan surat yang pendek-pendek. Tentu dengan karakteristik seperti ini, juz 30 menjadi lebih mudah dihafal dibanding juz-juz lain dalam al-Quran. Dengan kemudahan tersebut, seorang santri akan mampu meraba sendiri kemampuan menghafalnya. Kalaupun dia terhenti di tengah jalan, tidak akan sia-sia. Sebab, suratnya pendek-pendek dan banyak berguna untuk menjadi imam shalat, minimal efektif untuk dijadikan wirid atau bacaan rutin harian.
Ibarat bangunan rumah, bangunan yang sudah lengkap; ada dinding, pagar serta atap, ia akan bertahan lama meski tidak dihuni dan tidak terawat. Demikian juga hafalan. Ketika seseorang menghafal satu surat secara utuh, biasanya akan awet atau tahan lama, meski lama tidak dibaca. Resikonya menghafal juz 1 pada tahap awal akan mudah hilang seandainya terhenti di pertengahan juz.
18. Dengarlah rintihan orang yang ingin menghafal, namun tidak tercapai
Diakui ataupun tidak, menghafal al-Quran itu bagi umumnya kaum muslimin maupun muslimat merupakan naluri. Ia akan muncul dan tenggelam sesuai lingkungan dan situasi yang melingkupinya. Naluri itu kadang menjelma menjadi sebuah cita-cita dan harapan, layaknya kekayaan, jabatan dan popularitas. Cita-cita tersebut akan berubah menjadi menyakitkan manakala tidak tercapai.
Beberapa teman yang dulu ingin menghafal, rata-rata mereka menyesali kenapa keinginan tersebut dulu tidak direalisasikan dalam wujud usaha. Lebih-lebih, mereka yang pernah menghafal dan belum tuntas, atau pernah hafal namun kini pergi entah ke mana, seumur hidup mereka akan diliputi rintihan dan penyesalan. Mereka seakan hidup dalam fatamorgana yang tiada henti dan pengandaian yang tak berujung; seandainya dulu saya begini dan begitu, niscaya saya akan seperti mereka yang sukses menghafal.
Sebelum kita merasakan pahitnya penyesalan, mari optimalkan potensi dan maksimalkan ikhtiyar. Tentu perjuangan di awal itu beratnya luar biasa. Penyesalan selalu berada di akhir cerita dan tak akan pernah muncul di awalnya. Demikian pula, indahnya kesuksesan itu hanya bisa dinikmati di akhir masa penantian panjang. Kata pepatah: berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersusah-susah dahulu lalu bersenang-senang kemudian.
19. Jangan tunda, hidup ini selalu dipenuhi dengan kata “ternyata” dan “tiba-tiba”
Waktu ini kadang menyerupai fatamorgana. Dari jauh kelihatan indah, seakan kita masih memiliki kesempatan 1000 tahun yang tiap detiknya bisa diisi dengan 1000 aktifitas luar biasa. Namun, ternyata waktu yang kita miliki begitu singkat dan sesak dengan berbagai kesibukan harian yang teknis. Fatamorgana di atas akan meninabobokkan setiap orang, terlebih jika ingin melakukan kegiatan besar yang positif. Itulah ujian tiap orang yang ingin sukses.
Saat menghafal al-Quran, mahasiswa kadang begitu santai dalam melangkah. Alasan mereka, nanti saja kalau perkuliahan agak sedikit longgar, tugas kuliah terselesaikan semua, atau nanti saja kalau liburan panjang datang, akan menghafal sebanyak-banyaknya bila mungkin akan “bertapa” demi menyelesaikan hafalan. Sikap “taswif” (menunda-nunda) ini merupakan penyakit menular yang sangat ganas, serta penyebab utama dari setiap kegagalan menghafal.
Harus disadari, bahwa waktu kita secara matematis masih terbentang luas, sebenarnya hanyalah waktu bayangan bukan waktu yang sebenarnya. Misalnya; pada hari Minggu besok saya tidak ada kegiatan mulai pagi sampai malam sehingga jadwal menghafal hari Sabtu ini ditunda dulu lantaran agak sibuk. Marilah ditelaah contoh kasus penundaan di atas. Manusia oleh Allah tidak diberi kemampuan untuk mengetahui takdir di esok hari. Kita semestinya tidak mengandalkan waktu yang belum muncul di hari ini. Ada banyak kemungkinan yang akan terjadi di esok hari, diantaranya:
a. Memang betul longgar, tetapi tiba-tiba ada teman sakit yang butuh pertolongan kita
b. Memang betul longgar, tetapi tiba-tiba tubuh kita meriang/sakit
c. Memang betul longgar, tetapi tiba-tiba ada kabar kurang baik dari keluarga yang membuat kita susah
d. Pada pagi hari tiba-tiba ingin berolah raga atau main musik
e. Pada pagi hari, tiba-tiba ingin masak bersama teman atau mencuci baju
f. Pada siang hari, tiba-tiba ada acara televisi yang sangat bagus
g. Pada siang hari, tiba-tiba teman akrab lama datang
h. Pada siang hari, tiba-tiba ingin posting facebook atau menjawab email
i. Pada sore hari, tiba-tiba ingin bersih-bersih ruangan dan taman
j. Pada sore hari, tiba-tiba HP/komputer kita bermasalah yang butuh penanganan segera
k. Pada sore hari, tiba-tiba motor kita ditilang oleh polisi
l. Pada sore hari, tiba-tiba tetangga kita meninggal dunia
m. Pada sore hari tiba-tiba ingin cari makan yang enak
n. Pada sore hari tiba-tiba muncul rasa malas atas terkantuk ingin tidur
Dan masih ada ratusan kemungkinan lain yang menggagalkan kita untuk melakukan kegiatan di hari itu. Masihkah kita suka menunda?
20. Mimpikan kebaikan agar jadi kenyataan, nyatakan kebaikan agar jadi mimpi indah
Hampir setiap orang memiliki “mimpi” dan cita-cita untuk menjadi sesuatu atau memiliki sesuatu. Namun, kondisi fisik, psikologis, sosial kerapkali menenggelamkan mimpi itu. Sebetulnya orang yang memiliki “mimpi sukses” itu tergolong orang yang hebat, sebab tidak semua orang punya mimpi. Mimpi itu termasuk ingin hafal al-Quran. Anugerah Allah yang berupa “mimpi untuk hafal al-Quran” jangan pernah disia-siakan. Lakukan penguatan “mimpi” tersebut agar menjadi motivasi kuat dengan banyak membaca kisah-kisah para pengahafal al-Quran serta hikmah-hikmah menghafal.
Dengan demikian, motivasi menjadi kuat dan bisa menggerakkan anggota tubuh untuk meralisasikannya menjadi kenyataan. Disini diperlukan metode dan strategi, supaya mimpi itu tidak dibelokkan menjadi angan-angan hampa belaka. Yakinlah setelah mimpi itu terwujud, tentu hari-hari kita begitu indah bersama al-Quran bagaikan mimpi yang membuai angan dan memanjakan khayalan.
21. Awali dari diri sendiri, kalau kita mendambakan sebuah keluarga “Qur’ani”
Kita tentu tergiur dengan kesuksesan keluarga bapak Mutammimul Ula yang kesepuluh anaknya hafal al-Quran, atau ingin meniru Abdurrahman Farih dan Husein Thababai yang mana di usia balita mereka sudah hafal al-Quran. Kita juga ingin rumah selalu bergaung suara al-Quran dari mulut anak-anak.
Hanya saja, semua harus dimulai dari diri kita (suami, istri, bapak, ibu). Bagaimana mungkin anak-anak akan mengikuti jejak orangtuanya, sementara orangtua tak memberi contoh pada mereka. Orangtua yang hafal al-Quran akan dengan mudah mengenalkan dan membiasakan hafalan pada putra-putrinya di manapun mereka berada. Mungkin setiap berangkat sekolah, anak dituntun untuk menghafal surat-surat pendek. Pasti tanpa terasa dalam kurun waktu satu tahun saja, anak akan hafal lebih dari satu juz. Hal ini sulit terrealisasi bila orangtua belum mulai menghafal sejak sekarang. Memang, orangtua yang punya hafalan itu mendatangkan efek domino yang luas, bukan semata untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain terutama keluarga dekatnya.
B. Manajemen Menghafal al-Quran
Ada fakta bahwa tidak semua orang yang memiliki niat untuk menghafalkan al-Quran mampu merealisasikan niatnya, juga tidak semua orang yang menghafal bisa tuntas sampai 30 juz, dan tidak semua orang yang hafal 30 juz mampu membaca “bil ghaib” dengan lancar dan baik. Demikian juga, tidak semua hafidz diberikan karunia untuk menjadikan hafalannya sebagai dzikir yang selalu dilantunkannya secara istiqamah sampai akhir hayatnya. Untuk itu, perlu kiranya seorang mahasiswa melakukan pengaturan (manajemen) secara sistematis, agar target yang direncanakan bisa tercapai.
1. Manajemen waktu
Pada dasarnya pilihlah waktu yang tepat untuk menghafal, sangat tergantung kepada kenyamanan dan kondisi pribadi masing-masing. Akan tetapi dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, disebutkan bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
“Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidak ada yang mempersulit diri dalam agama ini kecuali dia akan sampai, makanya amalkan agama ini dengan benar, perlahan-lahan, dan berilah kabar gembira, serta gunakan waktu pagi, siang dan malam (untuk mengerjakannya)” ( HR Bukhari )
Umumnya, orang yang menghafalkan al-Quran di pesantren-pesantren menghabiskan waktu 3-4 tahun dengan program takhashshus (tahfidz intensif/sebagian besar waktunya untuk menghafal). Sebenarnya, kalau seseorang mampu mengatur waktu dengan baik, pasti akan jauh lebih cepat dari waktu tersebut. Misalnya, dalam sehari dia menambah hafalan dua halaman, maka dalam kurun waktu sepuluh bulan (atau max. 12 bulan) sudah tuntas 30 juz. Atau paling tidak, jika perhari menambah hafalan baru setengah halaman, maka dalam waktu 40 bulan (3 tahun 4 bulan atau max. 4 tahun) bisa tuntas semua. Tentu, dengan syarat setiap waktu terbuang harus diganti atau dirangkap tanpa kompromi.
Untuk konteks mahasiswa, pengaturan waktu memang lebih rumit dibanding dengan peserta program takhashshus di pesantren. Mahasiswa memiliki beban ganda yang berat. Terkait dengan perkuliahan, dia harus mempersiapkan matakuliah setiap hari (min. 1 jam), mengikuti perkuliahan (rata-rata 4 jam sehari selama 5 hari), mempersiapkan ujian UTS, UAS (min. 2 jam), menyelesaikan tugas membuat makalah individu atau kelompok (min. 5 jam). Berikut ini gambaran perbandingan kegiatan harian antara mahasiswa peserta program tahfidz dan mahasiswa non tahfidz:
Tabel 1: Alokasi Ideal Waktu Mahasiswa non Tahfidz dalam 24 Jam
Kegiatan |
Alokasi waktu |
Prosentase |
Persiapan materi kuliah, ujian dsb |
2 jam |
8,3 % |
Mengikuti perkuliahan, seminar dsb |
4 jam |
16, 6 % |
Menyelesaikan tugas, membuat artikel dsb |
1 jam |
4,1 % |
Organisasi, silaturrahmi, pertemuan dsb |
2 jam |
8,3 % |
Istirahat, sholat, makan dsb |
3 jam |
12,5 % |
Tidur |
8 jam |
33 % |
Cuci/setrika baju, membersihkan kamar, kerja bakti dsb |
2 jam |
8,3 % |
Hiburan, belanja, jalan-jalan dsb |
2 jam |
8,3 % |
Total |
24 jam |
100 % |
Tabel di atas menunjukkan betapa longgarnya waktu mahasiswa untuk belajar, ibadah, santai dan istirahat. Dengan alokasi seperti ini saja mahasiswa yang komitmen dan konsisten melakukan kegiatan ilmiah dan diniyah, pasti akan mencapai kesuksesan.
Adapun mereka yang mengambil program tahfidz penuh (30 juz), harus menyisihkan waktunya min. 9 jam perhari dengan perincian sebagai berikut:
Tabel 2: Durasi Ideal Waktu Mahasiswa Tahfidz
Kegiatan |
Durasi |
Penambahan hafalan baru 1 hal |
1 jam |
Pengulangan hafalan baru 1/2 juz |
1 jam |
Setoran hafalan |
2 jam |
Pengulangan/murajaah harian 3 juz |
2 jam |
Latihan fashohah, terjemah, tafsir |
1 jam |
Total |
9 jam |
Setelah waktu untuk tahfidz ditambahkan dalam kegiatan harian, maka komposisi waktu kegiatan menjadi seperti berikut:
Tabel 3: Alokasi Waktu untuk Mahasiswa Tahfidz Setelah Pengurangan
Kegiatan |
Alokasi waktu |
Prosentase |
Persiapan materi kuliah, ujian dsb |
1 jam (2-1 jam) |
4,1 % |
Mengikuti perkuliahan, seminar dsb |
2 jam (4-2 jam) |
8,3 % |
Menyelesaikan tugas, membuat artikel dsb |
1 jam |
4,1 % |
Organisasi, silaturrahmi, pertemuan dsb |
1 jam (2-1 jam) |
4,1 % |
Istirahat, sholat, makan dsb |
2 jam (3-1 jam) |
8,3 % |
Tidur |
5 jam (8-3 jam) |
20,8 % |
Bersih-bersih baju, kamar, kerja bakti dsb |
2 jam |
8,3 % |
Hiburan, belanja, jalan-jalan dsb |
1 jam (2-1 jam) |
4,1 % |
Tahfidz |
9 jam |
37,5 % |
Total |
24 jam |
100 % |
Dari tabel di atas, secara jelas diketahui bahwa mahasiswa yang akan menghafalkan al-Quran penuh (30 juz) harus siap melakukan riyadlah (latihan lahir batin) dan mujahadah (latihan hidup prihatin) yang mungkin sangat melelahkan. Tidur yang biasanya memakan waktu 8 jam dalam sehari semalam, harus dikurangi menjadi 5 jam. Demikian juga semua kegiatan yang sifatnya rekreatif, penyaluran hobbi semaksimal mungkin dikurangi, apalagi sekadar ngrumpi, ngobrol, cuci mata dan sebagainya, mutlak harus ditinggalkan. Apabila seorang mahasiswa memiliki tekad kuat untuk menghafal penuh, maka sebaiknya disusun target secara sistematis sebagaimana contoh di bawah ini:
Contoh target program hafalan 30 juz (dari nol) selama 4 tahun kuliah
Bulan ke |
||||||
1-2 |
3-4 |
5-6 |
7-8 |
9-10 |
11-12 |
|
Tahun pertama (semester 1-2) |
Fashahah binnadhar juz 1-10 |
Fashahah binnadhar juz 11-20 |
Fashahah binnadhar juz 21-30 |
Tahfidz Juz 1 |
Tahfidz Juz 2 |
Tahfidz Juz 3 |
Tahun kedua (semester 3-4) |
Tahfidz juz 4-5 |
Tahfidz juz 6-7 |
Tahfidz Juz 8-9 |
Tahfidz Juz 10-11 |
Tahfidz Juz 12-13 |
Tahfidz Juz 14-15 |
Tahun ketiga (semester 5-6) |
Tahfidz Juz 16-17 |
Tahfidz Juz 18-19 |
Tahfidz Juz 20-21 |
Tahfidz Juz 22-23 |
Tahfidz Juz 24-25 |
Tahfidz Juz 26-27 |
Tahun keempat (semester 7-8) |
Tahfidz Juz 28 |
Tahfidz Juz 29 |
Tahfidz Juz 30 |
Murajaah juz 1-10 |
Murajaah Juz 11-20 |
Murajaah juz 21-30 |
Pada tahun pertama (semester 1 dan 2) biasanya mahasiswa mendapat beban matakuliah yang banyak (sekitar 24 sks), belum lagi program intensif bahasa dan matrikulasi yang padat, sehingga dirancang enam bulan pertama (semester 1) mahasiswa hanya latihan fashahah, tajwid, dan tanda waqaf saja, mulai juz awal sampai khatam, kemudian pada semester kedua mulai menghafal sedikit demi sedikit, yakni dalam setiap dua bulan ditargetkan satu juz saja.
Pada tahun kedua ditargetkan satu bulan satu juz saja, berarti minimal perhari harus menambah hafalan satu halaman sehingga dalam waktu 20 hari (dengan asumsi satu juz ada 20 halaman untuk al-Quran pojok mushaf Madinah atau terbitan menara kudus), sudah genap satu juz dan sisanya dipakai untuk melancarkan.
Setelah mahasiswa memasuki semester 7-8, biasanya mereka sangat disibukkan oleh program KKN, PPL, penulisan skripsi. Untuk itu target hafalan dikurangi dari dua menjadi satu juz dalam dua bulan. Pada enam bulan terakhir pada tahun keempat, terdapat sisa waktu yang cukup untuk menyelesaikan target atau kalau sudah selesai, mereka harus banyak melakukan murajaah dengan harapan dalam setiap dua bulan (dari 6 bulan terakhir) mampu melancarkan minimal sepuluh juz yang telah dihafal. Bisa saja, melakukan pentashihan ke beberapa guru al-Quran di beberapa pondok pesantren.
Contoh alokasi waktu di atas berlaku juga untuk para penghafal dari kalangan mahasiswi, dengan asumsi mereka mengikuti pendapat yang membolehkan wanita yang menstruasi membaca al-Quran seperti Imam Malik dan Imam Ibnu Taimiyah. Namun bagi mereka yang konsisten dengan pendapat yang mengharamkan membaca al-Quran, perlu ada penyesuaian jadwal dan perbedaannya tidak terlalu signifikan, misalnya dari target 2 juz perbulan dirubah menjadi 1,5 juz. Bisa juga target akhirnya sama yaitu selesai dalam waktu 4 tahun, hanya saja jumlah penambahan hafalan harian di tambah, dari satu halaman perhari menjadi 1,5 halaman. Intinya perencanaan itu penting untuk mengawal dan mengarahkan usaha kita agar sesuai cita-cita dan tujuan.
Adapun waktu yang sangat tepat untuk melakukan murajaah (pengulangan) hafalan adalah waktu di sela-sela mengerjakan shalat–shalat sunnah, baik di masjid maupun di kamar ma’had/kos. Hal ini dikarenakan saat shalat seseorang fokus menghadap Allah, inilah yang membantu kita dalam melancarkan hafalan. Berbeda ketika di luar shalat, seseorang cenderung untuk bosan berada dalam satu posisi, ia ingin selalu bergerak, kadang matanya melihat ke kanan atau kiri, atau akan melihat obyek yang dianggap menarik, atau bahkan mungkin seseorang akan menghampirinya dan mengajaknya ngobrol. Berbeda dengan orang yang sedang shalat, temannya yang punya kepentingan kepadanya-pun terpaksa harus menunggu hingga shalat usai dan tidak berani mendekat.
Target dan Beban Menghafal
Target selesai | Waktu Menghafal | Waktu Melancarkan | Hafalan perhari | Murajaah perhari |
1 tahun | 300 hari | 65 hari | 30 baris (2 halaman) | min 5 juz |
2 tahun | 600 hari | 130 hari | 15 baris (1 halaman) | min 2 juz |
3 tahun | 900 hari | 195 hari | 10 baris (2/3 halaman) | min 1,5 juz |
4 tahun | 1200 hari | 260 hari | 7.5 (1/5 halaman) | min 1 juz |
5 tahun | 1500 hari | 325 hari | 6 baris | min 1 juz |
6 tahun | 1800 hari | 65 hari | 5 baris (1/3 halaman) | min 1 juz |
2. Manajemen strategi/metode
Sebenarnya banyak sekali metode yang bisa digunakan untuk menghafal Al-Quran, Masing-masing orang akan mengambil metode yang sesuai dengan kondisi masing-masing. Di sini akan disebutkan dua metode yang sering dipakai oleh sebagian penghafal, dan terbukti sangat efektif, yaitu:
Metode Pertama: Menghafal satu persatu halaman (menggunakan Mushaf Madinah atau menara Kudus). Kita membaca satu halaman yang akan kita hafal sebanyak tiga atau lima kali, setelah itu kita baru mulai menghafal. Setelah hafal satu halaman, baru kita pindah kepada halaman berikutnya dengan cara yang sama. Dan hindari pindah ke halaman berikutnya dalam kondisi hafalan yang labil (belum kuat), agar beban hafalan baru tidak menumpuk.
Metode Kedua : Menghafal ayat per ayat , yaitu membaca satu ayat yang mau kita hafal tiga atau lima kali secara benar, setelah itu, kita baru menghafal ayat tersebut. Setelah selesai, kita pindah ke ayat berikutnya dengan cara yang sama, dan begitu seterusnya sampai satu halaman. Akan tetapi sebelum pindah ke ayat berikutnya kita harus mengulangi apa yang sudah kita hafal dari ayat sebelumnya. Setelah satu halaman, maka kita mengulanginya sebagaimana yang telah diterangkan pada metode pertama.
Untuk menunjang kualitas bacaan dan hafalan, kita melakukan tasmi’(memperdengarkan) kepada seorang ustadz Al-Quran, agar beliaau membenarkan bacaan kita yang salah. Ini dimaksudkan untuk meminimalisir kesalahan yang timbul.
Faktor lain yang menguatkan hafalan adalah menggunakan seluruh panca indera yang kita miliki. Maksudnya kita menghafal bukan hanya dengan mata saja, akan tetapi juga membaca dengan mulut kita, dan kalau perlu kita lanjutkan dengan menulisnya ke dalam buku atau papan tulis, sebagaimana yang diterapkan di sebagian daerah di Maroko, yakni dengan menuliskan hafalan di atas papan kecil yang dipegang oleh murid, setelah mereka menghafalnya di luar kepala, baru tulisan tersebut dicuci dengan air.
Menggunakan satu jenis mushaf Al-Quran juga dapat menguatkan hafalan. Jangan sekali-kali pindah dari satu jenis mushaf kepada yang lain. Karena mata kita akan ikut menghafal apa yang kita lihat. Jika kita melihat satu ayat lebih dari satu posisi, jelas itu akan mengaburkan hafalan kita. Masalah ini, sudah dihimbau oleh penyair dalam tulisannya :
الْعَيْنُ تَحْفَظُ قَبْلَ الْأُذُنِ مَا تُبْصِرُ فَاخْتَرْ لِنَفْسِكَ مُصْحَفَ عُمْرِكَ الْبَاقِيْ
“ Mata akan menghafal apa yang dilihatnya- sebelum telinga, maka pilihlah satu mushaf untuk anda selama hidupmu. “
Ada beberapa model penulisan mushaf, di antaranya adalah: Mushaf Madinah atau terkenal dengan Al-Quran pojok, satu juz dari mushaf ini terdiri dari 10 lembar, 20 halaman, 8 hizb, dan setiap halaman dimulai dengan ayat baru. Mushaf Madinah (Mushaf Pojok) ini paling banyak dipakai oleh para pengahafal Al-Quran, banyak dibagi-bagikan oleh pemerintah Saudi kepada para jama’ah haji. Cetakan-cetakan Al-Quran sekarang merujuk kepada model mushaf seperti ini. Untuk penerbit Indonesia, ada model mushaf yang dipakai oleh sebagian pondok pesantren tahfidh Al-Quran yaitu terbitan Menara Kudus.
Faktor lain yang mendukung hafalan adalah memperhatikan ayat-ayat yang serupa (mutasyabih). Biasanya seseorang yang tidak memperhatikan ayat-ayat yang serupa (mutasyabih), hafalannya cendeung tumpang tindih antara satu dengan lainnya. Ayat yang ada di juz lima misalnya akan terbawa ke juz sepuluh. Ayat yang semestinya ada di surat Al-Ma-idah akan terbawa ke surat Al-Baqarah, dan begitu seterusnya. Di bawah ini ada beberapa contoh ayat-ayat serupa (mutasyabihah) yang seseorang sering melakukan kesalahan ketika menghafalnya :
1- (وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ﴾ البقرة 173 è ﴿وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ) المائدة 3 ، والأنعام 145، و النحل 115
2- (ذلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّين بغير الحق) البقرة 61، آل عمران21 è (وَيَقْتُلُونَ الأنبياء بغير حق) آل عمرن 112.
Untuk melihat ayat–ayat mutasyabihat seperti ini secara lebih lengkap boleh dirujuk buku–buku Mutasyabihat Al-Quran, karya Abul Husain bin Al Munady,Pedoman Ayat Mutasyabihat, karya KH. Mustain Syafi’i dll.
3. Manajemen istiqamah
Setelah Al-Quran dihafal secara penuh (30 juz), seringkali seorang hafidz disibukkan oleh studinya, kegiatan rumah tangga atau sibuk dengan pekerjaan, sehingga kerap kali Al-Qur’an yang sudah dihafalnya beberapa tahun, akhirnya hanya tinggal kenangan saja. Yang terpenting dalam hal ini bukanlah menghafal, karena banyak orang mampu menghafal Al-Quran dalam waktu yang sangat singkat, akan tetapi yang paling penting adalah bagaimana kita melestarikan hafalan tersebut agar tetap terus ada dalam dada kita.
Sering diungkapkan bahwa tugas seorang hafidz adalah menjaga hafalan. Istilah “menjaga hafalan” ini sebenarnya cenderung negatif, sebab dikesankan bahwa seorang hafidz itu tugasnya seperti petugas security (Satpam) yang hanya menjaga dan tidak menikmati apa yang dijaganya. Bayangan yang muncul di benak masyarakat umum, bahwa menghafal al-Quran itu identik dengan menambah beban hidup menjadi lebih berat. Saatnya kita rubah istilah tersebut dengan “melestarikan hafalan atau menikmati al-Quran”, sehingga tidak dianggap sebagai beban, melainkan sebagai sarana hiburan diri.
Di sinilah letak perbedaan antara orang yang benar-benar istiqamah dengan orang yang hanya rajin pada awalnya saja. Karena, untuk melestarikan hafalan diperlukan kemauan yang kuat dan istiqamah yang tinggi. Dia harus meluangkan waktunya setiap hari untuk mengulangi hafalannya. Banyak cara untuk menjaga hafalan Al-Quran, masing-masing tentunya memilih yang terbaik untuknya.
Mengulangi hafalan perlu dilakukan dalam shalat lima waktu. Seorang muslim tentunya tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu, hal ini hendaknya dimanfaatkan untuk mengulangi hafalannya. Agar terasa lebih ringan, hendaknya setiap shalat dibagi menjadi dua bagian, sebelum shalat dan sesudahnya. Misalnya, sebelum shalat: sebelum adzan, dan waktu antara adzan dan iqamah. Apabila dia termasuk orang yang rajin ke masjid, sebaiknya pergi ke masjid sebelum azan agar waktu untuk mengulangi hafalannya lebih panjang. Kemudian setelah shalat, yaitu setelah membaca dzikir ba’da shalat atau dzikir pagi pada shalat shubuh dan setelah dzikir selepas shalat Asar. Seandainya saja, ia mampu mengulangi hafalannya sebelum shalat sebanyak seperempat juz dan sesudah shalat seperempat juz juga, maka dalam satu hari dia boleh mengulangi hafalannya sebanyak dua juz setengah.
Dengan model istiqamah seperti ini, bisa jadi seseorang mampu mengkhatamkan hafalannya setiap dua belas hari sekali, tanpa menyita waktunya sedikitpun. Kalau dia mampu menyempurnakan setengah juz setiap hari pada shalat malam atau shalat-shalat sunnah lainnya, berarti dia bisa menyelesaikan setiap harinya tiga juz, dan mampu mengkhatamkan Al-Quran pada setiap sepuluh hari sekali. Banyak para ulama terdahulu yang menghatamkan hafalannya setiap sepuluh hari sekali. Ada sebagian orang yang mengulangi hafalannya pada malam hari saja, yaitu ketika ia mengerjakan shalat tahajjud. Biasanya dia menghabiskan shalat tahajjudnya selama dua jam. Cuma kita tidak tahu, selama dua jam itu berapa juz yang ia sanggup baca. Menurut ukuran umum, hafalan yang lancar, bisa menyelesaikan satu juz dalam waktu setengah jam. Berarti, selama dua jam dia boleh menyelesaikan dua sampai tiga juz, dengan dikurangi waktu sujud, ruku, dan duduk tasyahhud.
Ada juga sebagian orang yang mengulangi hafalannya dengan cara masuk dalam majlis para penghafal Al-Quran. Kalau majlis tersebut diadakan setiap tiga hari sekali, dan setiap peserta wajib mendengarkan hafalannya kepada temannya lima juz berarti masing-masing dari peserta mampu mengkhatamkan Al-Quran setiap lima belas hari sekali.
4. Manajemen tempat
Tempat yang kondusif akan memberikan pengaruh signifikan terhadap kesuksesan menghafal. Mereka yang tinggal di lingkungan yang acuh tak acuh atau bahkan anti mendengar lantunan al-Quran, akan merasa canggung untuk menghafal setiap saat. Sebaliknya mereka yang tinggal di pesantren khusus tahfidz, akan merasakan sebuah lingkungan yang kondusif, mau menghafal kapan saja dan di mana saja dan dengan cara apapun, dan hal itu tidak ada problem.
Secara umum, tempat yang paling kondusif untuk menghafal adalah masjid. Namun, kadang masing-masing orang memiliki selera dan tingkat kejenuhan yang berbeda, sehingga diperlukan alternatif tempat lain yang sunyi, seperti: di sawah, sungai, pesisir, makam, terutama makam ulama-ulama terkenal, seperti makam syeikh Hasyim Asyari Jombang yang sering dipakai tempat menghafal oleh santri-santri Pesantren “Madrasatul al-Quran”.
Bagi seseorang yang sudah hafal dan lancar, tempat tidak lagi menjadi soal. Sebab, ia bisa melakukan murajaah di manapun; di atas pesawat terbang, motor, mobil atau di tempat keramaian sekalipun. Terutama, saat mushaf al-Quran sudah dapat dimasukkan ke ponsel (HP), dengan begitu tidak ada lagi rasa “sungkan” membawa dan membaca al-Quran di tengah kerumunan massa. Tentu, itu dilakukan dengan suara pelan yang tidak mengusik atau menyita perhatian orang lain.
C. Meluruskan 10 Mitos Seputar Menghafal al-Quran
Setiap orang yang mau menghafal al-Quran pasti akan dihantui mitos (keyakinan tak berdasar), sebelum melangkah. Mitos tersebut kadang berdampak pada melemahnya motivasi atau harapan yang berlebihan usai hafal al-Quran nantinya. Sering terjadi, ketika anak minta izin pada orangtuanya untuk mulai menghafal al-Quran, orang tua melarang atau tidak merestuinya akibat perspektif yang salah tentang dunia hafalan.
Jadi mitos itu bisa meruntuhkan mental diri sendiri dan juga mampu meruntuhkan mental orang lain. Kedua dampak tersebut sama-sama merugikan mereka yang akan menghafal. Anehnya, mitos tersebut justru muncul dari orang yang belum memiliki pengalaman menghafal sama sekali. Dengan kata lain, mereka telah menyesatkan orang lain akibat ketidaktahuan mereka. Berikut ini mitos-mitos yang harus diluruskan.
1. Menghafal itu banyak cobaan dan godaan
Konon, cobaan orang yang menghafal al-Quran itu banyak, seperti mengidap penyakit, gangguan lingkungan, musibah keluarga. Sebenarnya sering sekali orang yang sedang menghafalkan al-Quran itu jatuh sakit, tetapi itu lebih diakibatkan faktor eksternal. Mungkin saja kurang olahraga, sedikit gerak, makan tidak teratur menjadi penyebabnya. Jadi, jangan dikaitkan penyakit yang menimpa dengan proses menghafal.
Bila terpaksa kita harus mencari-cari korelasi antara penyakit dengan hafalan, maka akan terjadi lompatan berpikir dan rekayasa logika yang panjang. Misalnya: “Orang yang menghafal menghabiskan sebagian besar waktunya dengan duduk. Duduk dalam jangka waktu lama akan mengendapkan lemak dan melambatkan sirkulasi darah. Darah yang terhambat berdampak pada lemahnya fungsi syaraf dan motorik organ. Lemahnya fungsi syaraf mengakibatkan konsentrasi berkurang dan sering pusing. Pusing dalam kurun waktu lama akan mengakibatkan instabilitas kinerja organ lainnya. Inilah yang disebut sakit.” Jika logika itu yang dipakai, maka aktifitas apapun berpotensi datangnya penyakit.
Tak kalah dahsyatnya, konon penghafal al-Quran itu selalu mendapat godaan dari lawan jenis dan maksiat lainnya, terutama saat menghafal surat an-Nisa (wanita). Ini juga mitos yang sama sekali tak berdasar. Pengalaman banyak penghafal al-Quran ternyata tidak mengalami kejadian itu. Seandainya fakta itu ada, kemungkinan besar orang yang bersangkutan telah membawa benih-benih asmara itu sebelum mulai menghafal. Akibatnya, kejenuhan menghafal atau akumulasi keteledoran menjadikannya mencari selingan aktifitas lain sebagai pelarian dan pelampiasan. Menyatukan dua fokus (bercinta dengan menghafal) jelas sangat sulit dan memunculkan masalah baru, yaitu asmara amburadul, hafalan juga hancur. Semakin amburadul, semakin seseorang mencari pelampiasan yang lebih dalam lagi.
2. Jangan menghafal, kalau lupa, dosanya besar
Konon pengahafal al-Quran itu dosanya besar, bila melupakan ayat yang pernah dihafalnya. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dari Anas bin Malik:
وَعُرِضَتْ عَلَيَّ ذُنُوبُ أُمَّتِي، فَلَمْ أَرَ ذَنْبًا أَعْظَمَ مِنْ سُورَةٍ مِنَ القُرْآنِ أَوْ آيَةٍ أُوتِيهَا رَجُلٌ ثُمَّ نَسِيَهَا
Saya diperlihatkan dosa umatku, maka saya tidak melihat dosa yang lebih besar dibanding dengan surat dan ayat dari al-Quran yang dihafal oleh seseorang lalu ia melupakannya.
Hadis ini menurut al-Albani tergolong dlaif, sehingga dia tidak bisa dijadikan pegangan untuk landasan hukum (halal dan haram). Meski demikian, hadis tersebut masih dapat digunakan untuk motivasi kebaikan (fadlail a’mal). Hadis ini ditujukan tidak hanya pada mereka yang hafal 30 juz saja, tetapi mereka yang hafal satu surat pendek pun, bahkan satu ayatpun kena, apabila pada akhirnya hafalan tersebut dilupakan. Dahulu ketika masih belajar di TPQ atau MI, MTs begitu banyak pelajar yang hafalan ayat atau surat, sebagai persyaratan kelulusan atau penunjang nilai, bila kini ternyata hafalan itu banyak yang menguap (tidak hafal lagi), ia juga menjadi sasaran (khitab) dari hadis tersebut.
Hanya saja, persoalannya tidak sesederhana itu. Lupa telah menjadi ciri dari makhluk Allah yang bernama manusia. Pertanyaan adalah lupa yang seperti apa yang dianggap dosa besar itu? Adakalanya lupa disengaja, adakalanya juga tidak disengaja. Disengaja artinya melakukan suatu kecerobohan/kesembronoan secara sadar lalu berdampak pada hilangnya ayat/surat dari al-Quran. Tidak disengaja artinya segala upaya untuk melanggengkan hafalan telah dilakukan secara kontinyu, namun masih ada saja huruf yang kurang, kata yang tak terbaca atau bahkan terlewatinya satu ayat al-Quran tanpa ada kesengajaan. Jelas kesalahan karena faktor ketidaksengajaan itu akan diampuni oleh Allah, karena di luar kekuatan manusia. Mustahil dijumpai di dunia ini, selain Rasulullah, orang yang menghafal 30 juz tanpa salah/lupa sama sekali. Sementara orang yang sembrono, mungkin dalam waktu sekian bulan tidak memurajaah hafalannya, jelas ini sama halnya menghina Allah. Sang pencipta telah memberi karunia agung berupa hafal al-Quran, lalu karunia itu diterlantarkan. Jadi subtansi masalahnya bukan pada lupanya tapi pada kecerobohannya itu.
Ada logika yang kurang benar pada kata: jangan menghafal, nanti khawatir lupa. Mestinya dibalik: menghafallah agar selalu ingat. Begitu sulitnya kita memurajaah sekian banyak ayat dan surat yang berserakan (sesuai hafalan acak sejak masa kecil dulu). Sementara itu, dengan menghafal keseluruhan, semua ayat yang berserak akan terhimpun teratur dan tertib dari awal hingga akhir dan termurajaah secara rutin. Ungkapan: jangan menghafal, hakikatnya adalah perasaan pesimis kalah yang ditularkan kepada orang lain, sebelum peperangan sungguh-sungguh dimulai. Bisa jadi, orang yang dilarang menghafal itu punya potensi besar menghafal cepat dan bagus, sehingga melarang orang lain menghafal hakikatnya mengkebiri hak orang untuk sukses menjalani kehidupan dunia dan akherat.
Semestinya anjuran menghafal atau tidak menghafal harus datang dari kyai atau ustadz yang sukses menghafal dan memahami persis psikologi menghafal, bukan kyai atau ustadz yang belum pernah atau gagal menghafal. Ibarat dokter, semakin ia kompeten dan memiliki gelar spesialis, semakin ia punya kewenangan untuk mengidentifikasi penyakit tertentu dan memberi resep, serta pasien juga tidak merasa was-was ketika ditangani dokter tersebut.
3. Menghafal itu butuh waktu lama
Konon proses menghafal itu butuh waktu yang sangat lama, betulkah? Sering pertanyaan seputar durasi waktu menghafalkan seperti ini muncul. Ternyata jawaban dari pertanyaan tersebut sangat bervariasi mulai dari yang super cepat (kurang dari 10 bulan) sampai yang paling lambat di atas 10 tahun, bahkan tidak jarang berakhir dengan kegagalan. Jika jawabannya bervariasi, maka tidak bisa diklaim bahwa menghafal itu pasti memakan waktu lama.
Animo masyarakat muslim terutama di perkotaan untuk menghafal al-Quran kian besar dan tak terbendung, sementara pada saat yang sama mereka dihadapkan pada tuntutan hidup faktual (bekerja, menikah, membesarkan anak, meniti karir, melanjutkan studi, berorganisasi). Lagi-lagi, persoalan yang muncul adalah cukupkah dalam waktu terbatas (1 tahun, 2 tahun dst) semua keinginan itu berjalan simultan.
Memang benar, menghafal al-Quran termasuk kategori Extra Ordinary Memorization(EOM), proyek menghafal yang luar biasa banyaknya, sekitar 600 (full) halaman dengan ratusan kata yang mirip dan ratusan kata non Arab di dalamnya. Dibutuhkan kolaborasi antara psikis, fisik, transeden yang kokoh untuk melakukannya. Ketenangan psikis dibutuhkan agar kerja otak untuk proses menghafal tidak terganggu, fokus dan stabil dalam jangka waktu yang panjang. Fisik yang sehat ikut juga berkontribusi menjaga stabilitas psikis, kinerja mekanis tubuh. Menggerakkan mulut untuk membaca, tangan membuka mushaf dibutuhkan kinerja mekanis tubuh yang sehat. Peran transendental (keyakinan/keimanan), meski kerja di belakang layar, adalah mengatur harmoni psikis dan fisik sekaligus mensupplay tenaga yang maha dahsyat. Seringkali aspek transedental ini mendominasi dan mengambil alih peran psikis dan fisik. Contoh banyak sekali orang buta yang hafal al-Quran, tidak jarang orang yang berbaring sakit sukses menghafal.
Pengalaman membuktikan bahwa perencanaan yang baik dalam menghafal dapat mempercepat tuntasnya hafalan. Tak terhitung jumlahnya para santri tahfidz di Indonesia yang hafal al-Quran kurang dari satu tahun, bahkan di Saudi Arabia ada seorang perempuan yang menyelesaikan hafalan 30 dalam waktu satu bulan. Jadi, menghafal itu tidak harus lama, ia bisa cepat asalkan diorganisir sedemikian rupa sehingga terjadi keseimbangan antara murajaah hafalan baru dan lama, terjadi efektifitas pemanfaatan waktu 24 jam dalam sehari semalam.
4. Menghafal itu membuat pikiran tumpul dan lemah dalam pemahaman
Konon penghafal al-Quran itu kecerdasannya berkurang. Mereka tidak mampu menguasai kitab kuning, jadi sarjana dll. Mitos tersebut hanya berlaku bagi mereka yang menjadikan hafalan sebagai ghayah (tujuan) bukan wasilah (media/jembatan). Hafalan sebagai tujuan artinya ketika tujuan itu tercapai maka berhentilah segala upaya yang terkait menghafal. Bagi mereka yang penting adalah lancar membaca dan banyak undangan acara khatmil Quran, sehingga tidak ada lagi upaya untuk mendalami bacaan (ilmu qiraat), mempelajari isi kandungannya (tafsir), menggali hukum yang ada di dalamnya (ayatul ahkam), atau mengkaitkan ayata-ayat al-Quran dengan ilmu pengetahuan lain (munasabah). Penghafal seperti ini jelas kehilangan harapan untuk menggali khazanah ilmu al-Quran sehingga kecerdasan otak dan akal menjadi tumpul dan tak terasah. Apa yang ia baca laksana mantra yang hebat meski tak memahami isinya.
Berbeda dengan mereka yang menjadikan hafalan sebagai wasilah saja. Tujuan utama menghafal bagi mereka adalah menguasai sumber hukum Islam, menjadikan al-Quran sebagai sumber inspirasi sekaligus pedoman hidup. Kelompok ini tergolong kelompok mayoritas. Hampir semua ulama besar di Timur Tengah hafal al-Quran. Ini jelas berbeda dengan di Indonesia. Seakan di sini ada dikotomi, ulama al-Quran dan ulama kitab kuning. Juga ada asumsi bahwa ulama al-Quran kurang kompeten dalam menguasai kitab kuning, sebaliknya juga demikian ulama kitab kuning dianggap tidak ada yang hafal al-Quran.
Menurut Abdud Daim al-Kaheel, orang yang hafal al-Quran itu pasti otaknya lebih cerdas dan intelegensinya meningkat. Ia sendiri menceritakan bisa menjadi cerdas akibat menghafal al-Quran.Proses menghafal hakikatnya proses pengasahan otak dalam waktu yang sangat lama. Otak yang telah terasah ini jelas menjadi lebih cerdas dari sebelumnya.
5. Pengahafal al-Quran itu malas bekerja
Karena ada kekhawatiran hafalannya hilang, umumnya penghafal al-Quran fokus dalam setiap waktunya untuk murajaah, sehingga tidak ada waktu untuk bekerja. Kadang tradisi terbiasa tidak bekerja itu terbawa sampai masa tua, selalu merasa canggung untuk bekerja kasar, sehingga terbentuk opini bahwa penghafal al-Quran itu priyayi, dan priyayi itu minta dihormati dan enggan melakukan pekerjaan berat atau kasar. Betulkah demikian?
Jelas mitos di atas tidak benar meski pada kenyataannya sebagian kecil masih ada yang seperti itu. Nama besar seorang “penghafal al-Quran” kadang membuat silau diri sendiri. Kesilauan itu akhirnya membebani diri sendiri secara berlebihan. Beberapa pesantren tahfidz di Indonesia sudah banyak yang menerapkan kurikulum tertentu untuk merubah mindset negatif tersebut dan berupaya menetralisir tabiat “gede rumongso” di kalangan para santrinya. Sebagai contoh: alm. KH. Mustain Syamsuri (pendiri PP. Tahfidz Darul Quran Singosari Malang) melatih santrinya untuk berwirausaha dengan cara memperkerjakan mereka sebagai tukang bangunan, penjual snack keliling, sopir angkot dan sebagainya seusai setoran al-Quran di pagi hari. Dari aspek penampilan, para santri diminta untuk tidak mengenakan simbol kesantriannya (kopiyah, sarung, sorban, baju koko) ketika mereka sedang bekerja. Dari kurikulum interpreneurship tersebut, lahir para alumni yang tidak canggung bekerja kasar dan keras dalam segala bidang kehidupan. Di antara mereka ada penjual rokok keliling, juru parkir, makelar mobil, dosen, guru dan lain. KH. Mustain pernah berpesan: “Hafalan al-Quran itu bukan sumber maisyah (ekonomi), ia semata karunia tuhan dan hanya dipersembahkan untuk-Nya. Ketika bermuamalah dengan orang lain, lupakan status “penghafal al-Quran” itu bergaullah seperti umumnya orang dari aspek acara bicara, cara berpakaian, cara bekerja.”
Jadi penghafal al-Quran itu mestinya memiliki etos kerja tinggi, pekerja keras. Lalu apa dengan bekerja itu tidak mengganggu murajaah harian mereka? Seperti halnya dzikir, murajaah al-Quran -sesuai ayat al-Quran- itu bisa dilaksanakan dalam kondisi berdiri, duduk maupun berbaring. Penghafal al-Quran harus pandai-pandai cari tempat atau cari waktu untuk murajaah yang sama sekali tidak mengganggu aktifitas kerja maupun muamalah. Dengan demikian, hafalan al-Quran itu tidak menghalangi orang sedikitpun untuk menjadi orang sukses melalui aktifitas kerja harian.
6. Membaca dengan hafalan itu mereduksi pahala mata (untuk melihat tulisan mushaf)
Konon pengahafal al-Quran itu pahalanya lebih sedikit dibanding pembaca al-Quran dengan mushaf, karena tidak seluruh anggota tubuh ikut aktif pada proses membaca. Padahal, masing-masing peran dari organ tubuh dalam membaca al-Quran itu mendatangkan pahala sendiri-sendiri. Mata melihat mushaf ada pahalanya, telinga mendengar ada pahalanya dan mulut melantunkan ayat juga ada pahalanya.
Memang benar Imam Ghazali dan Qadli Husein (tokoh pada madzhab Syafi’I) berpendapat tentang hal yang sama dengan penjelasan di atas bahwa membaca mushaf itu lebih afdal daripada membaca hafalan. Tetapi yang perlu juga dipahami, kalau melihat mushaf saja pahala, bagaimana dengan proses penyimpanan dan reproduksi memori al-Quran melalui otak, apa peran otak tidak ada pahalanya? Menurut Imam Nawawi dalam kitabnya “at-Tibyan” keutamaan membaca mushaf daripada membaca hafalan itu terjadi manakala dari aspek kekhusyuan, perenungan makna itu sama baiknya. Berarti kalau dengan membaca hafalan itu seseorang semakin khusu’ dan mampu mentadabburi daripada membaca mushaf, maka membaca hafalan lebih afdal, demikian juga sebaliknya.
Dari aspek lain, setiap huruf al-Quran yang dibaca bernilai sepuluh kebaikan. Jadi semakin banyak ayat dibaca, semakin banyak pula pahala yang didapat. Hanya umumnya penghafal al-Quran frekwensinya baca al-Quran-nya relatif lebih banyak dibanding dengan mereka yang tidak hafal. Sebetulnya tidak ada larangan seorang penghafal itu membaca mushaf, sebagaimana tidak ada keharaman pembaca mushaf untuk menghafal al-Quran. Keduanya tidak saling bertentangan, bila bosan menghafal, ya membaca, Jika bosan membaca, ya menghafal, begitu seterusnya.
7. Penghafal al-Quran itu bacaanya tidak bagus (kurang tartil)
Konon penghafal al-Quran itu tidak ada yang membaca secara tartil, karena terbiasa baca cepat dan mempercepat putaran 30 juz dalam beberapa hari saja. Pernyataan tersebut benar bila tidak digeneralisir. Yakni, memang ada yang demikian, namun ada juga yang bacaannya bagus, murottal sebagaimana ditunjukkan oleh para imam masjid di Mekkah dan Madinah. Di Indonesia, para peserta MHQ (musabaqah hifdzil quran) umumnya memiliki hafalan dan bacaan yang bagus dan murottal.
Bila ukuran penilaian itu dari acara khataman di kampung-kampung, jelas ini tidak fair karena hanya kasuistik dan temporer. Motivasi membaca cepat (hadr) semata memenuhi tuntutan pengundang agar khatam 30 juz dalam waktu maksimal 10 jam (3 juz perjam). Guru besar ilmu qiraat di IIQ Jakarta pernah berpesan: baca cepat itu boleh asal tidak seringa, hanya sebatas “tombo kangen” (pelepas dahaga kerinduan).
Dalam tingkatan bacaan (maratib al-Qiraah), diperbolehkan baca cepat asalkan masih sesuai kaidah tajwid, inilah yang disebut dengan tingkatan hadr. Artinya cepat atau lambat itu diperbolekan bila terbalut dengan prasyarat yang bernama tartil (segala bacaan yang sesuai kaidah). Imam Ali bin Abi Thalib berkata: tartil itu memperbaiki bacaan huruf dan mengetahui tempat wakaf. Kecepatan membaca yang di luar batas wajar (hadzramah) bagaimanapun juga tidak diperkenankan dalam membaca al-Quran, inilah yang menurut Imam Nawawi termasuk bacaan yang diharamkan.
8. Menjaga hafalan itu lebih berat dari menghafal awal
Konon menghafal itu lebih mudah daripada menjaganya. Sebagian orang termasuk para orangtua tidak mengizinkan anaknya atau familinya untuk menghafal al-Quran dengan dalih menjaga hafalan itu berat, bahkan lebih berat dari menghafal itu sendiri. Mitos ini bisa menjadi virus mematikan bagi siapa saja akan menghafal. Virus ini lebih mengedepankan pesimis daripada optimisnya. Anehnya virus ini lebih sering dihembuskan oleh orang yang belum pernah menghafal, dia hanya memandang dari kejauhan dan silau sebelum mendekat.
Padahal begitu masifnya penghafal al-Quran yang merasakan manisnya madu berdzikir al-Quran, sejuknya dekapan untaian al-Quran. Ibarat makanan, delapan jam saja kita tidak mengkosumsinya, tubuh terasa lemah, rindu dan ingin mendekat. Demikian halnya, bagi penghafal al-Quran sehari saja bibir mereka tidak basah dengan nada al-Quran, terasa sangat lapar dan dahaga. Ia bagai oase di tengah panasnya cuaca padang pasir, mampu menyejukkan hati yang gundah serta menyegarkan pikiran yang galau.
9. Sebelum menghafal itu wajib izin pada orang tua/guru
Konon sebelum menghafal al-Quran itu wajib minta restu orang tua/guru, agar mendapatkan ridlo Allah. Mitos ini mengandung unsur benar dan juga sekaligus salah. Unsur benarnya adalah orang tua merasa dihargai dengan permohonan izin tersebut dan restu mereka menjadikan langkah anak semakin mantab, serta doa orang tua/guru memberikan sumbangan energi dahsyat pada kesuksesan anak/murid. Unsur salahnya adalah bila segala bentuk kebaikan itu harus minta izin orang tua, maka begitu beratnya tugas anak. Seringkali ketidaktahuan orang tua tentang hal ikhwal hafalan, mematahkan asa anak untuk menghafal.
Semua orang tua/guru ingin anaknya/muridnya bahagia dalam belajar (dengan makan cukup, tidur nyenyak, ibadah nyaman), sementara menghafal itu proses berat dan melelahkan, sehingga kadang orang tua/guru tidak mengizinkan anaknya/muridnya menghafal. Hindarilah pertanyaan yang apabila dijawab justru kita berat melaksanakannya, itu pesan al-Quran. Anak yang minta izin, kemudian orang tua tidak mengizinkan, tidak etis anak menentang keputusan orang tua. Kekhawatiran terbesar dari mitos keharusan izin ini adalah hilangnya motivasi diri anak/murid untuk menghafal, padahal motivasi ini harta berharga yang sulit dicari dan susah ditumbuhkan kembali ketika memudar dan tenggelam.
Solusi terbaik adalah jalan tengah, seorang anak sebaiknya jangan minta izin, tetapi minta saran, itupun bila dipandang orang tua/guru tersebut memiliki pengalaman dan pengetahuan yang memadai tentang seluk beluk menghafal al-Quran.
10. Penghafal al-Quran itu layak dihormati
Konon orang yang hafal al-Quran itu kemanapun selalu dihormati orang lain, disanjung dan dipuja. Seakan rizkinya mengalir deras tanpa kerja berat. Mitos ini menjadi pemicu motivasi banyak orang untuk menghafal al-Quran. Hal ini dilatarbelakangi oleh pengamatan dari orang yang bersangkutan kepada seorang tokoh yang dihormati dan kebetulan hafal al-Quran. Sah-sah saja motivasi awal menghafal seperti itu, namun sebaiknya dalam perjalanan selanjutnya mitos tersebut sedikit demi sedikit harus dirubah.
Ada beberapa alasan kenapa harus dirubah, yaitu: (1) menuntut ilmu dan ibadah harus dilandasi keikhlasan semata karena Allah, (2) adalah hak orang lain untuk menilai apakah kita layak atau tidak untuk dimuliakan, (3) harapan yang berlebihan dapat mengakibatkan shock berat (stress), bila tidak tercapai, (4) tidak semua orang yang menghafal itu tuntas 30 juz, dan tidak semua yang tuntas itu berkualitas bagus dan lancar, kualitas hafalan yang bagus dan lancar, tidak serta merta mendapatkan pujian atau sanjungan.
Fokus penghafal al-Quran harus diarahkan untuk ta’abbud dan taqarrub pada Allah, serta menyelami dalam dan luasnya samudara ilmu Allah melalui al-Quran. Dapat cercaan tidak emosi dan terus introspeksi, dapat pujian tetap rendah hati. Berharaplah pujian dan kemuliaan langsung dari pemilik al-Quran yaitu Allah swt.
Wassalam, Selamat berjuang semoga sukses